Kampung Wisata Jodipan di Kota
Malang, Jawa Timur atau yang dikenal sebagai Kampung warna-warni yang
dulu merupakan 'permukiman kumuh' sekarang menjadi lokasi yang banyak
dikunjungi wisatawan. Tiap akhir pekan diperkirakan jumlah pengunjung
yang datang mencapai ratusan orang, seperti diaporkan wartawan di Malang
Jawa Timur, Eko Widianto.
Sejumlah pengunjung tampak berkeliling gang-gang sempit di dalam kampung yang berada bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, sementara warga di sana tetap beraktivitas seperti biasa. Sesekali para wisatawan mengambil foto suasana kampung ataupun 'selfie'. Para wisatawan itu, ada yang masuk ke dalam permukiman ataupun berfoto di atas jembatan dengan latar belakang Kampung Jodipan. Salah seorang penunjung asal Pasuruan, Rahayu mengaku kagum dan menyukai rumah bercat warna-warni. Dia bersama temannya asyik berfoto dengan latar belakang dinding bergambar. “Indah dan rapi, tak menyangka rumah ini ada di tepi sungai,” katanya. Ketua RW 2 Kelurahan Jodipan, Soni Parin tak menyangka kampungnya yang dulu dikenal sebagai permukiman kumuh menjadi obyek wisata alternatif. “Saya yang punya kampung bingung sendiri, apa ya yang mereka lihat?. Ada orang Belanda dan Australia juga yang ke sini,” kata Soni.
Sejumlah pengunjung tampak berkeliling gang-gang sempit di dalam kampung yang berada bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, sementara warga di sana tetap beraktivitas seperti biasa. Sesekali para wisatawan mengambil foto suasana kampung ataupun 'selfie'. Para wisatawan itu, ada yang masuk ke dalam permukiman ataupun berfoto di atas jembatan dengan latar belakang Kampung Jodipan. Salah seorang penunjung asal Pasuruan, Rahayu mengaku kagum dan menyukai rumah bercat warna-warni. Dia bersama temannya asyik berfoto dengan latar belakang dinding bergambar. “Indah dan rapi, tak menyangka rumah ini ada di tepi sungai,” katanya. Ketua RW 2 Kelurahan Jodipan, Soni Parin tak menyangka kampungnya yang dulu dikenal sebagai permukiman kumuh menjadi obyek wisata alternatif. “Saya yang punya kampung bingung sendiri, apa ya yang mereka lihat?. Ada orang Belanda dan Australia juga yang ke sini,” kata Soni.
Sekitar 107 rumah warga di sini tampak dicat dengan 17 sarna, dengan gambar yang dilukis komunitas mural. Sebuah toilet umum digunakan warga secara bergantian. “Dulu membuang
sampah ya ke sungai, sekarang malu banyak orang datang masa perilakunya
tetap,” kata Soni. Sejumlah tempat sampah untuk menampung sampah
warga dan pengunjung. Sampah-sampah itu akan diangkut petugas kebersihan
setiap hari. Biaya untuk mengangkut sampah itu didapat dari
'tiket masuk' seharga RP2.000 per pengunjung. Selain untuk sampah uang
tersebut juga digunakan untuk perawatan lingkungan. Penataan kampung ini disebut mirip dengan permukiman di pinggiran Kali Code Yogyakarta. Selain
kepedulian sanitasi meningkat, kunjungan wisatawan ke kampung ini
memberikan dampak terhadap perekonomian warga. Mereka pun berjualan
minuman dan makanan ringan, dan mengelola parkir kendaraan.
'Ancaman digusur'
Kampung
Jodipan dihuni warga pendatang yang mendirikan rumah di tanah milik
Negara tersebut. Soni mengaku telah mendengar kampung ini terancam
digusur dan warga akan direlokasi ke rumah susun."Kami memang
menempati tanah negara, tapi setiap tahun tetap membayar pajak bumi dan
bangunan," jelas Soni. " Saya nyaman dan kerasan tinggal di kawasan
bantaran sungai ini," tambah dia. Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono sempat mengunjungi kampung
warna-warni 23 September 2016, dan memberikan toleransi bagi warga yang
tinggal di titik tertinggi di sekitar Daerah Aliran Sungai DAS Brantas. “Keras
tapi arif. Di perkotaan kita tak bisa hantam kromo dengan aturan. Bisa
ditoleransi, tapi bukan pembiaran,” katanya. Apalagi permukiman sudah
tertata dan tak lagi kumuh. Seperti perkampungan di bantaran Kali Code
Yogyakarta yang diprakarsai Romo Mangunwijaya, yang tertata rapi dan
cantik. Dia juga mengatakan proses relokasi tak gampang dan membutuhkan waktu. Meski awalnya kampung ini terancam akan digusur, tetapi sekarang Wali
Kota Malang justru menetapkan permukiman warga Jodipan dan Ksatrian di
bantaran sungai Brantas sebagai obyek wisata. Untuk memindahkan
warga yang tinggal di pinggiran sungai, Pemerintah Kota Malang telah
membangun rusun sewa di Kelurahan Buring, Kedungkandang, Kota Malang.
Tetapi hingga kini dari dua blok baru terisi satu blok yang diperuntukkan bagi 400 keluarga. Pemerintah Kota Malang mendata sebanyak 17 kawasan permukiman kumuh di Malang. Diperkirakan sekitar 15 persen atau 31 ribu jiwa bermukim di bantaran sungai. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Malang luas permukiman kumuh mencapai 603 hektar tersebar di 29 Kelurahan dari total 57 Kelurahan. Penanganan perkampungan kumuh, Pemerintah Kota Malang mendapat dana dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 30 miliar. Dana digunakan untuk perbaikan sanitasi, penerangan jalan, drainase dan pasokan air minum.
Tetapi hingga kini dari dua blok baru terisi satu blok yang diperuntukkan bagi 400 keluarga. Pemerintah Kota Malang mendata sebanyak 17 kawasan permukiman kumuh di Malang. Diperkirakan sekitar 15 persen atau 31 ribu jiwa bermukim di bantaran sungai. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Malang luas permukiman kumuh mencapai 603 hektar tersebar di 29 Kelurahan dari total 57 Kelurahan. Penanganan perkampungan kumuh, Pemerintah Kota Malang mendapat dana dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 30 miliar. Dana digunakan untuk perbaikan sanitasi, penerangan jalan, drainase dan pasokan air minum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar