Kamis, 28 Desember 2017

MOMENTUM TAHUN BARU 2018

Menyambut Pergantian Tahun

Pertarungan kontestan politik terutama di Jakarta telah menorehkan luka  batin cukup dalam terutama yang berhubung an dengan relasi  agama, suku, toleran dan intoleran serta munculnya gap- gap baru yang diciptakan manusia entah di media sosial maupun di ranah publik. 
Banyak sekali sampah-sampah visual yang menjajah mata dengan ujaran-ujaran kebencian seakan-akan membangun opini publik bahwa ada  friksi antar pemeluk agama, pengelompokan orang berdasarkan tokoh yang sedang maju mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah. Penulis melihat dan mengamati Jakarta yang paling parah.

Akibat kontestasi politik muncul istilah kecebong, bumi datar, kaum cingkrang, onta, komunis dan sebutan yang mengarah  pada perbedaan ras dan suku, agama yang dipertajam oleh komentar-komentar manusia yang membuat sampah kata-kata di media sosial. Kata makian, argumen sempit tentang agama, egoisme yang terbangun akibat kekecewaan karena jagoannya kalah atau mereka yang mabuk kemenangan. Semuanya masih terbawa dan selalu menimbulkan polemik ramai di portal berita Internet. Pun kadang Pesohor agama ikut-ikutan membuat panas suasana dengan khotbah yang memprovokasi alih-alih memberi kesejukan jiwa.

Perbedaan sengaja dibangun dan  masyarakat dibuat bimbang dengan situasi kerukunan yang sedang berada di ujung tanduk. Di sisi lain kebudayaan yang menjadi andalan Indonesia untuk bisa  bersaing ditingkat global rasanya masih sepi-sepi saja. Geliat kesenian, pameran seni,  kegiatan-kegiatan yang membangun kepedulian dan nasionalisme masih kalah seru dengan gegap gempita politik yang mengaru biru.  Padahal jika kebudayaan maju, kesenian menjadi andalan masyarakat untuk bersatu melestarikan warisan luhur bangsa bukan mungkin politikpun tak mampu memecah belah  persatuan dan kesatuan bangsa.

Lihat saja betapa manusia telah terkotak-kotak dalam  jebakan diskusi menyesatkan tentang agama, tentang ideologi, tentang  ekonomi. Negara lain sudah melesat mencari kreasi untuk memajukan  bangsa dengan inovasi digital dan bisnis kreatif yang bisa dibanggakan, sementara Indonesia masih sibuk dengan jargon-jargon agama yang kontraproduktif.  

Apakah selamanya Indonesia tidak mampu bersama-sama bangkit satu suara untuk memajukan bangsa. Lihat saja Presiden sudah jungkir balik memberi contoh tentang bagaimana membangun mental tangguh dengan prinsip kerja-kerja, kerja. Tapi banyak generasi muda yang sibuk mencari celah memecah belah masyarakat dengan ujaran-ujaran kebencian yang tidak mendukung sama sekali percepatan pembangunan.

Tahun 2017 di sepanjang tahun itu ujaran kebencian  bermunculan bahkan banyak video-video di Youtube yang akhirnya memicu polemik termasuk video "penistaan" agama  yang sengaja disebar dan diedit sehingga terkesan pelaku video tersebut dengan sengaja melecehkan agama. Akhir kisah dramatis video tersebut  akhirnya membawa pemimpin fenomenal yang dikagumi dunia harus meringkuk di penjara. Dan meskipun sudah dipenjara ujaran-ujaran kebencian terus bergema, sampai spanduk"panas"pun muncul sampai ke pelosok daerah yang masyaraktnya belum bisa mencerna utuh ujaran-ujaran yang memprovokasi sehingga akhirnya hanya ikut-ikutan  dengan fitnah visual yang terus membobardir mata.

Penulis tidak bilang banyak orang Indonesia bodoh, tapi  budaya literasi rupanya belum mengakar dalam kehidupan. Ketika  melihat berita di media sosial misalnya banyak orang langsung emosi hanya karena judul yang terkesan provokatif. Padahal isi dan judulnya belum tentu sama. Tapi karena  budaya membaca belum terbangun dengan cepat emosi menyambar dan menganggap bahwa dengan hanya membaca judul makan spontan mereka langsung mencecar 

Rabu, 27 Desember 2017

Kampoeng Warna Perwujudan Kampoeng Tematik Kota Malang

Kampung Wisata Jodipan di Kota Malang, Jawa Timur atau yang dikenal sebagai Kampung warna-warni yang dulu merupakan 'permukiman kumuh' sekarang menjadi lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan. Tiap akhir pekan diperkirakan jumlah pengunjung yang datang mencapai ratusan orang, seperti diaporkan wartawan di Malang Jawa Timur, Eko Widianto.

Sejumlah pengunjung tampak berkeliling gang-gang sempit di dalam kampung yang berada bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, sementara warga di sana tetap beraktivitas seperti biasa. Sesekali para wisatawan mengambil foto suasana kampung ataupun 'selfie'. Para wisatawan itu, ada yang masuk ke dalam permukiman ataupun berfoto di atas jembatan dengan latar belakang Kampung Jodipan. Salah seorang penunjung asal Pasuruan, Rahayu mengaku kagum dan menyukai rumah bercat warna-warni. Dia bersama temannya asyik berfoto dengan latar belakang dinding bergambar. “Indah dan rapi, tak menyangka rumah ini ada di tepi sungai,” katanya. Ketua RW 2 Kelurahan Jodipan, Soni Parin tak menyangka kampungnya yang dulu dikenal sebagai permukiman kumuh menjadi obyek wisata alternatif. “Saya yang punya kampung bingung sendiri, apa ya yang mereka lihat?. Ada orang Belanda dan Australia juga yang ke sini,” kata Soni.
Sekitar 107 rumah warga di sini tampak dicat dengan 17 sarna, dengan gambar yang dilukis komunitas mural. Sebuah toilet umum digunakan warga secara bergantian. “Dulu membuang sampah ya ke sungai, sekarang malu banyak orang datang masa perilakunya tetap,” kata Soni. Sejumlah tempat sampah untuk menampung sampah warga dan pengunjung. Sampah-sampah itu akan diangkut petugas kebersihan setiap hari. Biaya untuk mengangkut sampah itu didapat dari 'tiket masuk' seharga RP2.000 per pengunjung. Selain untuk sampah uang tersebut juga digunakan untuk perawatan lingkungan. Penataan kampung ini disebut mirip dengan permukiman di pinggiran Kali Code Yogyakarta. Selain kepedulian sanitasi meningkat, kunjungan wisatawan ke kampung ini memberikan dampak terhadap perekonomian warga. Mereka pun berjualan minuman dan makanan ringan, dan mengelola parkir kendaraan.

'Ancaman digusur'

Kampung Jodipan dihuni warga pendatang yang mendirikan rumah di tanah milik Negara tersebut. Soni mengaku telah mendengar kampung ini terancam digusur dan warga akan direlokasi ke rumah susun."Kami memang menempati tanah negara, tapi setiap tahun tetap membayar pajak bumi dan bangunan," jelas Soni. " Saya nyaman dan kerasan tinggal di kawasan bantaran sungai ini," tambah dia. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono sempat mengunjungi kampung warna-warni 23 September 2016, dan memberikan toleransi bagi warga yang tinggal di titik tertinggi di sekitar Daerah Aliran Sungai DAS Brantas. “Keras tapi arif. Di perkotaan kita tak bisa hantam kromo dengan aturan. Bisa ditoleransi, tapi bukan pembiaran,” katanya. Apalagi permukiman sudah tertata dan tak lagi kumuh. Seperti perkampungan di bantaran Kali Code Yogyakarta yang diprakarsai Romo Mangunwijaya, yang tertata rapi dan cantik. Dia juga mengatakan proses relokasi tak gampang dan membutuhkan waktu. Meski awalnya kampung ini terancam akan digusur, tetapi sekarang Wali Kota Malang justru menetapkan permukiman warga Jodipan dan Ksatrian di bantaran sungai Brantas sebagai obyek wisata. Untuk memindahkan warga yang tinggal di pinggiran sungai, Pemerintah Kota Malang telah membangun rusun sewa di Kelurahan Buring, Kedungkandang, Kota Malang.

 Tetapi hingga kini dari dua blok baru terisi satu blok yang diperuntukkan bagi 400 keluarga. Pemerintah Kota Malang mendata sebanyak 17 kawasan permukiman kumuh di Malang. Diperkirakan sekitar 15 persen atau 31 ribu jiwa bermukim di bantaran sungai. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Malang luas permukiman kumuh mencapai 603 hektar tersebar di 29 Kelurahan dari total 57 Kelurahan. Penanganan perkampungan kumuh, Pemerintah Kota Malang mendapat dana dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 30 miliar. Dana digunakan untuk perbaikan sanitasi, penerangan jalan, drainase dan pasokan air minum.

Senin, 25 Desember 2017

Dunia jurnalistik Indonesia


Dunia jurnalistik Indonesia kian berkembang pesat di berbagai daerah. Saat ini pula banyak kaum muda lebih menyukai dunia jurnalistik, baik penulisan tentang sastra, cerpen, novel, maupun penulisan lirik-lirik lagu bernuangsa cinta dan balada. Hebat jurnalistik di negeri ini. Bukan itu saja, dunia jurnalistik sudah mulai merambah dikalangan anak-anak tingkat sekolah taman kanak-kanan. Inilah hebatnya fenomena dan sekaligus aura indah yang ada di dunia pernulisan, jurnalistik Indonesia.

Maka dengan semakin banyaknya minat dari kalangan kaum muda di dunia yang satu ini, pemerintah dan segenap instansi terkait wajib terus mendukung perkembangannya, selain itu perlu adanya suatu tempat khusus untuk bisa sebagai wadah interaktif positif buat kaum muda itu sendiri didalam penggelutannya pada bidang jurnalistik. Inilah salah satu tantangan positif buat Kartar.

Kartar salah satu wadah sarana bergabungnya para penulis, sastrawan/wati, wartawan, dan penulis-penulis junior lainnya seperti saya ini, Kompasiana harus lebih gigih lagi untuk bisa terus merambahkan dan mengembangkan dunia jurnalistik Indonesia, terutama harus lebih dekat lagi pada kaum muda di usia sekolah dan mahasiswa.

Keberadaan kartar masih dibilang belum sepenuhnya masuk ke dalam nuansa kaum muda Indonesia dan kaum muda di negera-negara sahabat lainnya. Tapi bukan berarti Kartar tidak berarti buat mereka, kaum muda.

Kartar sudah memiliki andil dalam berbagai bidang pengetahuan dan teknologi, terutama pada pemuatan-pemuatan tulisan yang selalu berkembang dari sumbangsih para penulisnya sampai saat ini. Kartar harus lebih dekat lagi masuk dan merambah kesetiap lembaga-lembaga pendidikan, baik di tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi. Keberadaan Kartar sungguh dapat merubah fenomena kaum muda untuk lebih kreatif dan enovatif di bidangnnya dengan sumbangsih itu sendiri saat ini.

Kaum muda mulai melirik dunia Jurnalistik yang sungguh misteri dan menarik untuk diselami dan di ikuti oleh mereka. Mereka bisa dengan bebas dan merdeka untuk mengeluarkan pendapat dan buah pikirannya melalui tulisan-tulisan yang dilahirkannya lewat pemikiran matangnnya. Mereka juga dapat dengan bebas dan merdeka untuk bisa mengembangan pola pemikirannya yang kian dewasa pada setiap curahan hatinya melalu tulisan indah yang diciptakannya. Inilah tantangan Kartar kedepan untuk bisa lebih dekat lagi kepada kaum muda dan anak-anak usia sekolah dasar.

Kartar jangan hanya sebatas dunia internet saja, hal ini perlu pula adanya media Kompasiana dalam bentuk yang nyata, baik berbentuk media cetak tersendiri, media brotchasting dan media elektronika lainnya. Dengan demikian Kartar jelas dengan visi dan misinya yang terbangun di tengah-tengah masyarakat luas, terutama bagi  kaum muda dan anak-anak.